Analisis
Kendala dan Prospek Demokratisasi Desa
Di Indonesia, sesuai dengan passafah
pancasila, demokrasi ditempatkan sebagai alat sekaligus tujuan hidup bernegara.
“demokrasi” merupakan alat untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang
demokratis. Prisip dasar suatu kehidupan yang demokratis ialah tiap warga
Negara ikut aktif dalam proses politk. Dengan kata lain, anggta masyarakat ikut
serta dalam menyusun agenda politik yang dijadikan landasan bagi pengambilan
keputusan pemerintah. Demokrasi baru bisa berjalan kalu pencapain tujuan-tujuan
dalam masyarakat diselenggarakan oleh wakil-wail mereka yang dibentuk
berdasarkan pemilihan umum. Prinsip dasar musyawarah mengandung demensi proses,
sedangkan prinsip mupakat mengandung demensi tujuan. Dalam praktik peleksanaan
demokrasi di Indonesia lebih menitik beratkan pada pencapaian tujuan ketimbang
pada proses pencapainannya. Dari sisi status demokrasi “proyek” demokratisasi
desa jelas baru masuk pada tahap demokrasi formal. Untuk mencapai status
demokrasi substansial maka urgen dilakukan pemberdayaan masyarakat desa, agar
kapasitas atau kemempuan rakyat desa cukup memadai untuk merumuskan dan
memaksakan kehendak mereka kedalam system politik.
Dalam perspektif relasi Negara
dengan rakyat, kebijakn penataan desa daposat dilihat dari dua sudut pandang.
Pertama, kebijakan penataan desa merupakan proses memasukan Negara kedalam
desa. Ini adalah proses memperluas kekuasaan dan hegemoni Negara sehingga
merasuk kedalam kehidupan kehidupan masyarakat desa. Akibatnya ketergantungan
terhadap Negara meningkat. Kedua, kebijakan penataan desa merupakan proses
memesukan desa kedalam Negara. Langkah ini dilakukan dengan cara pengenalan
lembaga-lembaga baru dalam kehidupan desa dan penyebarn gagasan dalam
moderenitas.
Dalam proses pertama Negara berperan
sebagai actor utama dalam moderensasi desa, Negara melakukan penetrasi dan
iterfensi kedalam kehidupan masyarakat desa. Implikasinya Negara memonopoli
aturan main atau prosedur kerja dari program yang dijalankan didesa, serta
pengesahan atas lembaga lembaga yang didirikannya,yang tentu akan mempengaruhi
corak kehidupan sehari hari warga desa.
Sebaliknya,
dalam proses kedua (“desa dalam negar”),
desa menjadi bagian dari Negara tanpa kehilangan karakter aslinya. Proses ini
membuka peluang ini membuka peluang bagi rakyat desa untuk terlibat dalam
aktifitas pmbangunan nasional, memperoleh akses ke berbagai untuk terlibat
dalam aktifitas pembangunan nasional, memperoleh akses ke berbagai sumberdaya
yang memiliki Negara (material maupun politik).
Penetrasi Negara ke dalam kehidupan
rakyat desa dapat berjalan efektif selama orde baru karena dua alasan. Pertama,
adanya dukungan jaringan administrasi territorial militer yang berjalan sejajar
dengan jaringan administrasi territorial sipil. Di tingkat desa kehadiran
Negara dipresentasikan oleh lembaga pemerintah desa dan institusi keamanan
Negara, yang terdiri dari aparat kepolisian (bimmas = bimbingan masyarakat
desa) dan militer (babinsa = bimbingan
Pembina desa). Kedua, adanya system perwakilan kepentingan, yang menghubungkan
Negara dengan rakyat desa melalui jaringan organisasi organisasi fungsional
non-ideologis (model “korporatisme Negara”). Penerapan model “korporatisme
Negara” oleh pemerintah orde baru telah menghilangkan kemajemukan dalam
kehidupan social dan politik pedesaan, selain itu memunculkan pengorganisasian
kepentingan masyarakat dalam wadah –wadah yang serba tunggal. Petani misalnya
diwadahi dalam HKTI, nelayan dalam HNSI, kaum ibu dalam PKK, pemuda dalam
Karang Taruna, kegiatan koperasi dalam KUD dan seterusnya. Pemerintah berusaha
sungguh – sungguh agar ormas – ormas inilah yang menjadi satu satunya jembatan
antara Negara dengan rakyat karena cara ini diyakini dapat menimalkan konflik
social dan memaksimalkan produktifitas ekonomi.
Dari perspektif transformasi
structural, masyarakat desa dengan gradasi yang berbeda beda tengah beranjak
dari situs masyarakat yang bersifat komunal tertutup (komunal tersegmentasi)
menuju masyarakat dengan cirri ikatan asosiasional yang menonjol dan terbuka.
Berdasarkan derajat komunalitas – asosiasionanya (sifat ikatan social) dan
derajat keisolasian / segmentasi – integrasinya (bentuk ikatan social), maka
masyarakat desa di Indonesia dapat dipetakan menjadi empat tipe (kartodirdjo,
1987b).
-
Tipe 1 (lembaga iradisional) ialah
seperti yang terdapat dalam desa asli – tertutup. Lembaga lemabaga desa
bersifat komunal dan berbentuk “tertutup” (segmented). Dalam komunitas yang
relatif masih tertutup, terisolasi, dan belum banyak mengalami perubahan
perubahan modernisasi, solidaritas komunal masih efektif.
-
Tipe 2 (lembaga semi modern) lembaga –
lembaga pedesaan bersifat asosiasional, tetapi sebagai unit organisasi masih
berbentuk segmented. Hingga kini tidak ada usaha mengintegrasikan PKK desa X dengan
PKK desa desa sekitarnya.
-
Tipe 3 (semi tradisional) terjadi dalam
masa feudal. Desa yang bersifat komunal, secara vertical diintegrasikan dalam
kerajaan, antara lain demi kepentingan pengumpulan pajak dan pengerahan tenaga.
-
Tipe 4 (lembaga modern) dan lembaga
lembaga desa diintegrasikan dengan lembaga lembaga sejenis baik secara
horizontal maupun vertical, dampaknya akan kuat sekali kea rah proses
demokratisasi. Desa menjadi terbuka, berarti ada jalur jalur komunikasi
ekonomis, social, politik dan cultural, maka dampaknya di berbagai bidang akan
sangat besar.
Setiap tipe masyarakat desa menuntut
perlakuan yang berbeda, agar demokratisasi desa dapat berjalan.
Kendala dan prospek demokratisasi desa
Dari analisis diatas dapat dipetakan
beberapa kendala dalam mendorong laju demokratisasi desa. Selanjutnya akan coba
dilihat bagaimana prospeknya.
Status demokrasi desa
“proyek” demokratisasi desa masih berada
dalam status “demokrasi formal/ procedural”. Ini artinya posisi gerak
demokratisasi desa masih berada pada tahap awal. Ada dua hambatan yang segera
muncul pada titik ini. Pertama, kenyataan landasan formal (UU No. 22/1999)
demokrasi desa baru diberlakukan secara efektif selama 2 tahun ini. Kedua,
terputusnya proses pendidikan politik rakyat desa dalam rentang waktu yang
cukup lama (usia satu generasi, 1966-1998) menjadikan kondisi kognitif dan
emosi rakyat desa nyaris tak berdaya dalam urusan partisipasi politik. Oleh
karena itu, perlu upaya keras dan sungguh sungguh untuk meningkatkan
keberdayaan politik rakyat desa.